BACAAN QURAN

Listen to Quran

Friday, 4 March 2016

RIBA DAN PENGERTIANNYA

Macam-macam Riba dan Pengertiannya dalam Islam Ada 4 macam Riba dalam pandangan Agama Islam, Berikut ini adalah macam-macam riba dan pengeritannya dalam Agama Islam. a) Riba Fadhli Riba Fadhli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 24 karat seberat 5 gram ditukar dengan emas 24 karat namun seberat 4 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba. b) Riba Qordhi Riba Qordhi, adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat  mengembalikannya. Misal si Udin bersedia meminjami si Imam uang sebesar Rp300.000,00 asal si Imam bersedia mengembalikannya sebesar Rp325.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba. c) Riba Yadi Riba Yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, akan tetapi penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang atau ketela yang masih di dalam tanah. d) Riba Nasi’ah Riba Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang dilakukan beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah buah-buahan tersebut besar-besar atau setelah layak dipetik. Contoh lain, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah musim panen.

Sumber: http://kisahimuslim.blogspot.my/2014/09/macam-macam-riba-dan-pengertiannya.html

Pengertian dan Dasar Hukum Mudharabah Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Fikirkanlah, jika seseorang berjalan di muka bumi ini, maka pada umumnya hal itu dilakukan dalam rangka menjalankan kegiatan, misalnya suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam AlQur'an surat Al-Muzzammil, ayat ke-20 yang artinya : "Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Mudharabah biasa disebut juga qiraadh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qath’u (sepotong), karena pemilik modal menyisihkan sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan pemilik modal tersebut berhak mendapatkan bagian dari keuntungannya. Pengertian dan Dasar Hukum Mudharabah Apa pengertian dan dasar hukum mudharabah? Mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan modal (Shahibul mal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (mudharrib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan sebelumnya dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian mudharrib. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian mudharrib, ia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepakati di sebelumnya sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti perhanjian yang tercantum dalam kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, di mana mudharrib mendapatkan 60% dari keuntungan, sedangkan Shahibul mal mendapat 40% dari keuntungan. Mudharabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu (1) mudharabah muthlaqah dan (2) mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola yang memiliki cakupan sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha tertentu, waktu, atau tempat usaha. Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan manusia, karena sebagian dari mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun mereka memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat Islam memperbolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terjadilah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. (Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq hlm.221). Mudharabah hukumnya mubah (boleh), dasar  hukum mudharabah berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadist berikut: a. Al-Qur’an Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20) Firman Allah: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1) Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283) b. Al-Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111)) Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)



Apa Pengertian Riba Menurut Pandangan Agama Islam ? Menurut pandangan dalam Agama Islam, pengertian riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Riba, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, juga berdosa. Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat: a) timbangan ukurannya sama b) melakukan serah terima saat itu juga, c) dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya tidak sama, seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, harus berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.


No comments:

Post a Comment